Lumajang Punya Cerita (Part 2)

Belum baca part 1? cek di sini!

Part sebelumnya, kita membahas beberapa tempat rekreasi di Lumajang (padahal baru 1 yang dibahas), nah di sini gua mau ceritain Jembatan Perak, Pantai Bambang, dan sisi-sisi terpinggarkan di daerah Lumajang.

 

Yoi, Jembatan Perak sebenernya gua lewatin sebelum Piket Nol. Foto di atas adalah Jembatan Perak yang lama, namun karena udah usang dan keliatannya udah penuh karat, dibangun lagi sebuah jembatan yang lebih kokoh. Yang di Jawa Timur, mampir aja ke sini, adem!



Selanjutnya adalah Pantai Bambang. Pantai ini benar-benar Jawa ya, namanya aja udah Jawa banget. Di pantai ini, pasirnya warnanya hitam terus batu-batunya masih tajem banget belum jadi pasir.. Terus, pas gua ke sini, airnya udah mulai pasang dan anginnya kenceng banget, jadi banyak yang main layangan. 

Sayangnya, pantai ini parah banget pengelolaannya. Di pintu gerbang kita diharuskan membayar 8 ribu rupiah untuk orang dewasa, pas udah masuk, kita harus bayar 5 ribu untuk parkir. Tapi, gua ngga yakin itu retribusi resmi karena pantai-nya bener-bener ga terawat, sampahnya banyak banget. Pengelolaan wisata di daerah ini masih jauh dari kata layak.

Pas di pantai ini gua kebelet pipis, akhirnya gua memutuskan mencari kamar mandi, pas ketemu, toiletnya dalemnya cuma ada ember ama karung isi pasir. Gua bingung kan, gua bukain dah tuh satu-satu pintunya dan ternyata isinya sama semua. Eh, gua dimarahin sama yang punya,

"Sama semua mas isinya," kata ibu si empu toilet dengan logat jawa sambil jongkok,

"Oh hehe" balas gua dengan malu-malu kucing sambil masuk ke toilet.

Eh sialnya lagi, toiletnya bayar dua ribu dan gua cuma ada seribu, akhirnya gua bayar, minta maap, terus ngacir. Semoga Tuhan memberkati Ibu itu selalu, aamiin.

Yak, setelah bermalam-malam gua menginap di Lumajang, ada begitu banyak pelajaran yang gua petik, dua pelajaran ada di part 1, nah untuk selanjutnya agak serius nih, gua membahas sosial, budaya, hiburan, dan pendidikannya #anjas.

Hiburan di daerah yang cukup jauh dari ibukota Jawa Timur ini, cuma ada satu, yaitu Televisi. Mereka punya handphone tapi handphone tipe-tipe pas jaman penjajahan SD; ada antenanya, touchscreen (disentuh tombolnya bukan layarnya), batrenya kuat seminggu. Mereka sedikit sekali yang bisa akses internet, ya alhasil pengetahuan mereka cuma sebatas yang ada di TV.  

Lanjut, kebanyakan warga di sini adalah perokok (mayoritas pria). Dari sekian banyak pria yang gua temui, hanya tiga yang ngga ngerokok (pale gua, gua, sama bapak gua). Dari pelajar, sampe kakek-kakek semuanya udah siap sebungkus rokok di kantongnya, bahkan ada yang ngerakit rokoknya sendiri. Lagi acara nikahan pun, habis makan, rokok langsung menemani di mulutnya. 

Terus, ke pendidikan, sekolah di sana kebanyakan swasta atau madrasah, dan mereka bayar. Lu bayangin, di sana kebanyakan sawah, mereka kebanyakan jadi petani, petani penghasilannya seberapa sih? Dan untuk masukin anaknya sekolah harus bayar dua juta... 2 juta! Dan, sekolahnya kira-kira 10km lebih dari kabupaten ini. Udah bayar, jauh, standar kualitasnya mungkin masih di bawah di Ibukota-ibukota lainnya. Miris.

Gua tau sih, nulis blog ini ga ada efek apa-apa ke mereka (penduduk Lumajang) ya seengganya mungkin ada yang berkenan share, bahwa masih ada loh di pulau Jawa, kota/kabupaten yang kaya gini, mereka perlu pembenahan di banyak bidang, ga cuma fasilitas tapi pelayanan-pelayanan yang memadai (dan gua baru tau mereka yang mau bikin paspor harus ke Malang sejauh 140km). Jangan sampai, kesenjangan-kesenjangan selalu ada. 

Post ini, sekaligus kado gua buat Indonesia yang berulang tahun ke-71 (telat)! 
Semoga bisa menyejahterkan rakyatnya di berbagai pelosok negeri.

Tertanda,
Maulvi Muhammad Adib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pelangi

Guru-guru di hari buruk Senin T.T

Kesadaran Menjaga Alam itu Tumbuh saat Kuliah

Beruntung