[OPINI] Angket DPR Kepada KPK: Kekanak-kanakkan dan Cacat Hukum
Kita semua tahu bahwa DPR sedang
menggunakan hak angketnya. Tahu kepada siapa? Bukan eksekutif, bukan
legislatif, bukan juga yudikatif, iya mereka menggunakan hak angketnya untuk
lembaga pemberantas korupsi di Indonesia, KPK.
Menurut Wikipedia, Hak Angket Dewan
Perwakilan Rakyat adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan yang dimiliki
oleh DPR yang memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dalam kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Poin yang ditekankan dalam
pengertian di atas adalah "kebijakan pemerintah yang bertentangan".
Mengapa KPK menjadi sasaran DPR untuk diselediki? Lalu, apa permasalahan dari
DPR ini sehingga harus menyelediki KPK? Lalu, poin utamanya, dimana letak
“bertentangannya” KPK sehingga harus digunakan hak angket?
Wacana ini dimulai ketika KPK
menyebarkan kepada publik nama-nama yang tersangkutpaut kasus korupsi E-KTP
sebagai saksi, kasus korupsi terbesar di Indonesia. Dilansir rappler.id, e-KTP
merupakan proyek Kementerian Dalam Negeri ketika dipimpin Gamawan Fauzi. Proyek
ini memiliki anggaran Rp5,9 triliun dan
diduga Rp2,3 triliun jatuh ke tangan yang salah alias dikorup. Kembali lagi,
nama-nama yang disebarluaskan KPK, kebanyakan adalah nama-nama anggota DPR yang
sedang menjabat termasuk ketua DPR, Setya Novanto.
Selanjutnya, salah satu anggota
DPR yang dijadikan saksi kasus E-KTP, yaitu Miryam S. Haryani pada akhir Maret
2017 mengaku ditekan salah satu penyidik KPK sehingga membuat keterangan palsu
dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Lalu, beberapa hari selanjutnya, Miryam
mencabut keseluruhan isi keterangan BAP. Hal ini membuat konflik antara DPR dan
KPK. KPK mengatakan tidak adanya tekanan dalam penyidikan Miryam. DPR dan KPK
sempat membuat rapat kerja pada 18 April 2017, DPR meminta membuka rekaman
penyidikan, namun ditolak oleh KPK. DPR mengancam akan menggunakan instruksi
paksa melalui hak angket yang pada akhirnya disetujui pada rapat paripurna 28
April 2017 (meski terdapat ketidaksetujuan dari beberapa fraksi).
Jika ditarik dari kronologisnya
maka jelas ini adalah tindakan kekakanak-kanakan yang sedang dilakukan wakil
rakyat. Dapat dianalogikan, seperti anak-anak yang yang sedang bermain “geng”
dan salah satu anggota gengnya disakiti padahal anggotanya yang bermasalah,
lalu geng itu membalas dengan keroyokan dan semena-mena. Dengan DPR melakukan
penyelidikan kepada KPK, secara tersirat menunjukkan sikap tidak mendukung
kepada lembaga pembarantas korupsi untuk mengusut secara tuntas kasus e-KTP,
sekali lagi kasus ini adalah kasus korupsi terbesar di Indonesia. Menurut saya,
secara logika, hal ini dapat mengakibatkan pelemahan tugas dan wewenang KPK itu
sendiri karena seperti kita tahu, DPR juga sedang menggarap revisi UU KPK.
Lagipula, angket beserta panitia
khusus (pansus)-nya memiliki banyak permasalahan. Menurut Mahfud MD dilansir dari
kompas.com, terdapat banyak cacat hukum dari pembentukan pansus angket KPK.
Pertama, KPK bukanlah subyek hak angket seperti pengertian di awal.
Pemerintahan yang dimaksud di sana adalah Presiden, Wakil Presiden, Menteri,
Jaksa Agung, Kapolri, dan lembaga pemerintah non-kementerian. Kedua, obyek hak
angket harus penting, strategis, dan berdampak luas bagi masyarakat. Sedangkan,
dari kronologis di atas, hak angket ini dilakukan dengan alasan tekanan pada
penyidikan Miryam. Dimana nilai pentingnya untuk masyarakat? Bahkan, KPK sudah
membuktikan tidak adanya tekanan dalam pemeriksaan Miryam dalam pra peradilan.
Ketiga, prosedurnya bermasalah, dimana Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat
paripurna mengetok persetujuan padahal beberapa fraksi belum setuju.
Selanjutnya, yang menjadi tanda tanya
besar adalah, bagaimana proses penyelidikan pansus angket kepada KPK dan apa yang
akan dilakukan DPR setelah itu? Kita telaah bersama-sama. Kemarin, Pansus
Angket mendatangi lembaga pemasyarakatan Sukamiskin. Bertemu siapa? Bertemu tahanan
koruptor. Ini kok mendatangi orang-orang yang secara jelas memusuhi KPK.
Mengapa pansus tidak bertemu para pelapor tindakan korupsi, pakar hukum, saksi
lain yang pernah diperiksa dan lain-lain. Ketua pansus, Agun Gunandjar
mengatakan prosesnya akan transparan, akuntabel, dan partisipatif. Tetapi, dia
juga mengatakan “nantinya hasilnya akan diuji oleh RAKYAT MELALUI PARLEMEN”.
Sounds good, doesn’t work. Bagaimana bisa kita mempercayai proses pengujian melalui parlemen ketika awal mula hak angket ini saja bermasalah!
Mungkin kita semua tidak khawatir mengenai hak
angket ini, tetapi yang menakutkan adalah langkah DPR selanjutnya. Jika hasil
penyelidikan DPR ini menunjukkan kinerja buruk KPK, ini akan mempermulus revisi
UU KPK.
Memang angket ini bagai dua mata
pisau, pertama dapat melemahkan tugas dan wewenang KPK, tetapi di sisi lain,
KPK dapat menunjukkan ke publik bahwa tidak ada yang bermasalah dalam sistem
KPK, baik secara internal, maupun proses hukum yang dijalankan oleh KPK. Kita
sebagai rakyat haruslah mendukung KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi di
Indonesia. Kita harus kawal bagaimana keberlanjutan drama kekanak-kanakan yang
sedang diperankan oleh wakil rakyat ini. KPK tidak sendirian. #SaveKPK.
Ditulis oleh,
Maulvi Muhammad Adib
Mahasiswa Universitas Indonesia
REFERENSI
- https://id.wikipedia.org/wiki/Hak_Angket_Dewan_Perwakilan_Rakyat
- http://www.rappler.com/indonesia/data-dan-fakta/164688-sketsatorial-skandal-e-ktp-kasus-korupsi-terbesar
- https://news.detik.com/berita/d-3486565/perjalanan-hak-angket-kpk-hingga-disetujui-paripurna-dpr
- http://nasional.kompas.com/read/2017/06/14/16595151/mahfud.md.pembentukan.pansus.angket.kpk.cacat.hukum
- http://nasional.kompas.com/read/2017/07/07/10514001/lucunya.pansus.angket.dpr.temui.koruptor.musuhnya.kpk.
Komentar
Posting Komentar
Yuk, berikan kritik dan komentar!